Nasehat Seorang Sahabat.
Namanya Jutek. Iya, bukan nama sebenarnya, itu hanya panggilan sayang untuknya. Kami pertama kali bertemu saat masih berusia 13 tahun, sama-sama ditinggalkan orang tua disebuah asrama, kita sama-sama sekamar, sekelas, bahkan sebangku. Jika ada pertanyaan, siapa yang lebih tau tentang diri saya selain saya sendiri, dia adalah jawabannya. Hampir gak ada yang saya rahasiakan dengannya, dia saksi bagaimana terpuruknya saya saat sedang berada dalam masa-masa sulit, dia juga orang pertama yang akan saya beritakan jika sedang berbahagia.
Saat liburan
lalu, saat kembali ke Pekanbaru, saya khusus datang kerumah Jutek untuk curhat,
karena ada beberapa hal yang lebih enak jika disampaikan secara langsung. Untuk
masalah yang satu ini contohnya.
Then she told
me…
“Bawel, namanya
juga ketemu dengan orang baru, pastilah belum nemu cocoknya dimana, pasti
awal-awal sering berantem, salah paham, perlu adaptasi, ko perlu memahami dia,
gitu juga sebaliknya”
Then I said…
“He’s not the
one that I looking for”
She said…
“Ko nyarinya
yang gimana? Yang kayak ‘dia’?
My answer is…
“Gak harus kayak
‘dia’, at least…aku pernah ketemu dengan orang yang bisa ngertiin aku, yang
memahami aku, yang aku ga perlu jelasin apa-apa tapi dia udah ngerti. Yang bisa
jadi teman ngobrol apa aja, sharing, yang bisa jadi lebih dewasa dari aku...”
“Iya, but he
getting hurt you so much, remember?” saya terdiam. She’s true.
“Ingat Bawel,
‘dia’ punya plus yang besar, tapi dia juga punya minus yang besar. He hurt
you.” saya masih diam. Once again, she’s true.
“Gak ada
salahnya memulai dengan yang baru, buka hati, maafkan masa lalu, don’t
comparing your past with your future, sapa tau dia yang baru ini justru someone
that you looking for, who’s know? You have to try to know about it.”
She’s true. And
I remember the last word his tell me “tapi, jangan dipaksain kalo hati ko memang ga
mau, ko yang paling tau kan
yang terbaik untuk hidup ko?”
0 Comments