Day 3 : Anak Pesantren #30DaysBlogWriting



Dulu saat pertama kenalan dengan teman baru diawal masa kuliah, saya sangat-sangat menjaga identitas saya sebagai seorang 'santri'. Bukan karena malu, tapi lebih kepada 'rasanya saya tidak cukup baik untuk mendapat predikat seperti itu' meski pada kenyataannya saya adalah seorang santri yang menghabiskan 6 tahun di pondok pesantren.

Gak ada yang percaya kalau saya ini seorang santri, dilihat dari penampilan yang biasa-biasa saja (yang kata mama-Gak anak pesantren banget), jilbab seadanya, masih pakai celana, baju kadang masih ngepas dan ga sampai nutupin belakang, dan lainnya.

Tapi, pengalaman mondok selama 6 tahun merupakan pengalaman hidup yang sangat-sangat berjasa seumur hidup saya. Rasanya saya tidak akan se-tangguh ini jika tidak ditempa dulu di penjara suci (istilah yang kami gunakan untuk mengganti kata 'pesantren').

Yang pasti saya merasa beruntung sekali bisa memperdalam ilmu agama tidak disembarang tempat, berguru langsung pada yang qualified, tidak sekedar googling, dan dengar dari yutub lalu sibuk menghalal-haramkan apa saja tanpa dalil yang jelas.

Tentu bekal belajar di pesantren selama 6 tahun tidaklah cukup untuk membuat saya jadi yang paling tahu, saya sadar betul masih banyak kurangnya dalam ilmu agama, tapi setidaknya saya sudah punya pondasi yang baik untuk itu.

Yang paling menyenangkan dari menjadi anak pesantren adalah, banyak belajar tentang life hacks, bagaimana bisa survive dengan segala peraturan yang ketat, belajar mandiri, beradaptasi, toleransi, dan tentu saja mendapat saudara-keluarga baru. Walau udah mencar kemana-mana tapi silahturahmi kita tetap terjaga, dan masih sering ngumpul kalau lagi pada ada di kota ini.

Hmmm...apalagi ya? 

Oke, saya akan sebutkan satu kenakalan saya di pesantren. Sholat shubuh di kamar, bukannya di mesjid, trus ketauan sama pembina asrama. Udah itu aja, kalau disebutin semua bisa kacau. Hahahaha...

See you next post!

Share:

0 Comments