#11Project11Days Day 7, Tema 'Dancing with My Father'
I’m proud to call you ”My Dad”
”Sebentar lagi acaranya di mulai, jangan kelamaan dandannya” Bunda mengingatku yang sedang melamun, aku tersenyum lalu mengangguk.
Tiba-tiba saja aku teringat masa kecilku bersama ayah dan bunda. Aku kecil yang sangat bandel, susah di atur, manja, sok mandiri, sok dewasa.
Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana ayah mengenalkanku dengan musik. Dunia yang sangat aku cintai sekarang. Ayah mengajarkan ku bagaimana cara bermain piano, dengan lagu pertama yang berhasil ku bawakan adalah lagu ’Ayah’ dari Rinto Harahap yang menjadi lagu favorite ayah. Aku ingat bagaimana Bunda yang ’agak’ tidak menerima karena hanya lagu ’Ayah’ yang di ajarkan, ayah dengan bangga menjawab ”itulah hebatnya ayah.” Meski pada akhirnya setelah dewasa alat musik yang aku pilih sangat jauh melenceng dari yang pernah di ajarkan ayah, aku memilih Drum.
Dan karir bermusikku tentu saja tidak berjalan mulus. Meski ayah sangat mencintai musik, tapi beliau tidak mengijinkanku untuk memilih karir di dunia musik. Beliau juga tidak mengijikanku untuk bermain drum, entah apa alasannya waktu itu, yang pasti akhirnya diam-diam Bunda bersedia menjadi donatur untuk biaya les drum ku.
Saat bermain drum, aku seperti menemukan jiwaku. I think it my passion to be a drummer. Entah bagaimana caranya memberi tahu ayah tentang aku yang sekarang sudah mempunyai sebuah band, yang siap bersaing dengan musisi lainnya. Setahun berlalu aksi diam-diam ku bermain dengan drum menghasilkan IPK yang nyaris nasakom, IPK ku jatuh hingga 2.50. Kaget, takut, cemas pastinya karena membayangkan ayah yang pasti akan marah. Namun, pada akhirnya aku jujur ini semua karena aku yang terlalu asyik dengan dunia bermusik ku. Tapi, ternyata ayah tidak memarahi ku.
”Ayah melarangmu untuk bermain musik ya karena ini, pelajaran mu akan ketinggalan...”
”.......”
”...ayah tau bermain musik itu luar biasa asyiknya, kalo kamu tidak siap untuk membaginya dengan hal lain, maka beginilah jadinya. Ayah tidak pernah benar-benar melarangmu, tapi coba ingat lagi apa tujuanmu jauh-jauh sekolah k Jogja, untuk belajar kan? Bukan untuk belajar musik, maka selesaikan lah tanggung jawabmu pada ayah dan bunda”
Aku menangis, aku paham betul apa yang ayah katakan benar. Disaat aku salah, ternyata ia tidak memarahiku. Padahal aku yakin sekali kalo beliau pasti kecewa padaku, maafkan aku ayah.
Selain musik, ayah kemudian mengenalkan ku pada dunia tulis menulis, dunia sastra. Yang pada akhirnya membawaku pada lomba-lomba yang berhubungan dengan tulis-menulis dan sastra. Aku jadi sangat-sangat mencintai puisi, Chairil Anwar, penggila puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, menulis puisi ku sendiri, menulis cerpen, dan tentu saja juga mengintip sastra dari membaca novel.
Ayah, betapa ada banyak hal yang dapat ku pelajari darimu. Ada banyak hal yang tidak ku ketahui sebelumnya yang dengan senang hati kau ajarkan padaku. Bagaimana cara menyikapi bunda kalo sedang ngomel-ngomel, bagaimana cara agar bisa survive dalam hidup, bagaimana cara untuk memilih prioritas dalam hidup, ayah yang mengajarkanku bagaimana cara bertanggung jawab dengan pilihan dalam hidup. He’s teach me right from wrong.
”Bel, mau sampe kapan dandan nya??, di luar udah rame lho??” kembali bunda mengingatkanku. Perlahan aku menghapus air mata di sudut mataku. ”iya bunda, ni udah selesai kok, ayah sudah di luar?” tanyaku seraya berdiri. ”sudah sayang, sudah dari tadi meski dari tadi bolak-balik menanyakanmu sudah siap atau belum” jawab bunda tersenyum seraya membetulkan jilbabku. ”bunda tunggu di luar yah” lanjutnya lagi, aku mengangguk.
Aku mematut diriku di cermin sekali lagi, bukan untuk melihat hasil dandananku, tapi untuk memastikan bahwa aku sudah siap dengan pilihanku, bahwa aku sudah siap untuk ayah lepaskan, untuk ayah hantarkan pada orang yang nantinya akan menggantikan ayah menjagaku.
”Bagaimana, sah?” tanya penghulu yang kemudian di sambut dengan jawaban dari orang-orang yang hadir pada ijab kabulku hari ini. Aku menegakkan kepala berusaha mencari mata ayah, ia menangis. Aku yakin sebenarnya ayah pasti bahagia melihatku sekarang. Aku bersimpuh di antara kedua orang tua ku, memohon doa restu agar apa yang aku jalani mereka rihoi.
”ayah bahagia, kalo kamu bahagia nak...” ucap ayah sambil memelukku.
”How proud I’m to be your daughter, I’m proud to call you my dad, the great father in the world.”
“Untuk ayah tercinta,
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata, di pipiku
Ayah, dengarkanlah...
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi”
(Ayah, Rinto Harahap)
0 Comments