A Flash Fiction?



Sore itu akhirnya kami memilih untuk makan disebuah tempat makan yang tak jauh dari sekitaran Blok M. Kami belum pernah kesini sebelumnya, tak sengaja terlihat saat berhenti dilampu merah. Tempatnya tidak sedang ramai oleh pengunjung waktu itu, cenderung sepi malah, yang sempat terlihat olehku hanya dua meja yang terisi saat kami tiba.

Kami memilih untuk duduk di ruangan ber-AC, dipinggir jendela, tak ada siapa-siapa disana, hanya kami bertiga, kemudian sang pramusaji datang untuk mencatat pesanan kami. Aku masih ingat apa yang kami bicarakan sambil menunggu makanan datang. Kami menebak-nebak apakah nanti rasanya enak atau tidak.

Makanan datang dan rasanya juga enak, diluar ekspetasi kami sebelumnya. Saling mencicipi pesanan masing-masing, masih dengan bercerita tentang makanan yang pernah kami makan sebelumnya, kemudian membandingkannya dengan yang ada didepan mata. 

Sedang asyik menikmati sambil bercerita, beberapa pengunjung datang dan duduk tepat di meja belakang kami. Aku dengan posisi membelakangi mereka, awalnya tak tahu seberapa 'tua'nya mereka, yang aku tahu hanya ada suara bapak-ibu, itu saja.

Kemudian ia yang duduknya menghadap mereka berkata "kita kalau tua bisa kayak mereka gak ya?'

Lalu aku menoleh, melihat 3 orang lansia duduk bersama sambil tertawa, entah apa hubungan mereka, tapi rasanya aku melihat kami berpuluh-puluh tahun kemudian.

Sambil keluar dan menuju mobil, kami masih berdebat bagaimana kami nanti saat sudah setua mereka. Apakah kita masih bisa bersama-sama, atau sudah berjalan ke arah berbeda sesuai dengan tujuan masing-masing.

Sekali lagi kami meninggalkan jejak memori ditempat yang baru. Kelak saat aku berkunjung kesana lagi, maka memori sore itu akan termainkan otomatis dalam otak, memunculkan tawa kita dan yang kita bahas kala itu. Raga boleh berpisah, tapi kenangan itu akan selalu di sana.


Share:

0 Comments