Hujan...

“Rinai hujan basahi aku…
Temani sepi yang mengendap…
Kala aku mengingat mu…
Dan semua saat manis itu…”
Lantunan musik dari MP3 player ku mendendang kan lagu Hujan dari Utopia, yang sangat mendukung cuaca sore ini. Yaps…disini sedang turun hujan lebat yang membuat aku tak bisa beranjak dari tempat ini. Sepulang kuliah tadi aku malas untuk langsung pulang ke kos, ada beberapa tugas kuliah yang harus segera diselesaikan, dan aku membutuhkan jaringan hotspot untuk mencari tugas Psikologi Perkembangan. Dan disinilah aku sekarang, duduk manis di sudut kafe “Coffe-net” yang memang menyediakan free hotspot yang membuat aku betah berlama-lama duduk disini dari pada harus ke warnet, namanya juga mahasiswa yang jauh dari orang tua jadi harus bisa memanfaatkan kesempatan untuk sedikit berhemat, dan akhirnya malah kejebak hujan.
Kelihatannya sore ini pengunjung “Coffe-net” sangat ramai, tentunya sebagian dari mereka yang datang ke sini hanya sekedar untuk menumpang berteduh dari hujan, sementara di luar hujan sangat lebat. Dari jendela kafe, aku melihat dua remaja yang masih berseragam putih abu-abu tampak sangat menikmati turunnya hujan. Kelihatannya mereka sedang jatuh cinta, hal ini terlihat dari cara mereka saling memandang dan saling melindungi satu sama lain dari hujan yang turun dengan sebuah payung, sementara payung yang mereka pakai tak cukup untuk melindungi mereka dari hujan. Uh…so sweet, batinku sambil tersenyum.
“Permisi mbak, boleh duduk disini gak…?” sebuah suara mengganggu ku, aku memutar pandangan ke kursi di depan ku yang kini sudah di duduki oleh si pemilik suara tadi.
“Sorry, tadi kamu bilang apa ya?” tanya ku masih sedikit tidak mengerti kenapa seorang anak laki-laki yang memakai seragam putih abu-abu berani-berani nya duduk dihadapan ku tanpa permisi, “dasar…anak zaman sekarang gak tau sopan santun” batin ku.
“Lho…tadi gue kan udah bilang, boleh duduk disini gak mbak, soalnya udah gak ada bangku yang kosong, trus kata pelayan yang di sana gue gak apa-apa duduk disini” jawab anak itu sambil menunjuk seorang pelayan yang berdiri di pintu masuk. Aku menghela nafas.
“Oke deh, tapi ingat yah jangan ganggu gue, gue lagi sibuk nih” jawab ku kesal sambil melanjutkan mengerjakan tugas di laptop yang tadi sempat terhenti saat melihat adegan romantis di luar jendela.
“Kuliah ya mbak?” tanya anak SMA yang tadi duduk di depan ku.
“Iya…” jawab ku.
“Dimana??” tanya nya lagi.
“UMS” jawab ku sabar.
“Fakultas??” dia masih saja bertanya, yang makin buat aku kesal, dengan senyum sesabar mungkin aku menjawab “Psikologi angkatan 2006, kalau gak salah sih sekarang gue udah tingkat 3” jawab ku panjang kali ini, karena aku tau pertanyaan selanjutnya.
Sambil meminum hot cappuccino-nya anak itu lalu berkata dengan santai-nya, “Ups…jangan marah-marah donk mbak, gue kan Cuma nanya doank, gitu aja sewot ntar cepat tua lho, pantesan hujan-hujan gini duduk sendirian, mbak galak sih jadi gak ada yang berani buat deketin, hati-hati lho mbak ntar jadi perawan tua” ujarnya sambil tersenyum penuh kemenangan.
“Uh…sialan anak kecil ini, berani-berani nya ngatain gue perawan tua” batin ku kesal sambil mengepalkan tinju padanya. “Eh…anak kecil lain kali jaga ya omongan lo, di sekolahan gak di ajarin sopan santun ama yang lebih tua ya?” jawabku kesal.
“Tuh kan marah lagi, yaelah gitu aja di masukin ke hati, gue becanda lagi mbak, maaf yah…” kali ini dengan gaya meminta maaf khas hari raya idul fitri, sambil berjongkok di hadapan ku sambil menyalami ku, yang tentu saja jadi bahan tontonan gratis orang-orang yang berada di kafe sore itu yang akhirnya membuat aku jadi jengah juga.
“lo apa-apaan sih, minta maaf sih minta maaf, biasa aja donk, gak perlu pake acara sungkeman-sungkeman segala, gak malu lo diliatain orang” ucap ku seraya menariknya untuk duduk di kursi.
“Duh...lama-lama gue jadi senewen juga nih ngadepin orang kayak lo” ucap ku lagi sambil beranjak pergi ke arah coffe-Tender, secangkir hot-Cappucino (Lagi...karena setelah hampir 2 jam duduk disini aku sudah menghabiskan 2 cangkir minuman yang sama) cukup membuat ku rileks dan biasanya selalu dapat ide-Ide baru. Aku lalu kembali ke tempat duduk ku, dan aku memelototi tempat duduk ku tadi, lagi-lagi anak kecil itu merecoki pekerjaan ku, kali ini dia sedang asyik mengutak-atik laptop ku.
“Eh...anak kecil lo gak puas ya udah ngerecokin gue dari tadi, ngapain lo ngutak-ngatik laptop gue, itu pelajaran anak kuliahan, anak ingusan kayak lo gak bakal ngerti tau...!!!” ujar ku marah sambil menarik laptop ku dari hadapannya. Sejenak ku lihat apa saja yang sudah di perbuat oleh makhluk tuhan yang paling rese' ini pada tugas ku. But nothing. Aku bernafas lega. Pelan-pelan aku melihat wajahnya yang kini terlihat muram sambil melihat tetesan air hujan yang mengalir pada kaca jendela tempat kami duduk. Ada gurat kesedihan di sana, aku jadi merasa sedikit bersalah padanya, apa tadi aku terlalu kelewatan memarahi nya. Tapi kan emang tu anak kelewatan, ngerecokin kerjaan orang, tapi gue juga salah sih harus nya kan tadi bisa baek-baek minta nya, gue harus minta maaf nih, batin ku. Sebelum aku sempat berkata-kata, tiba-tiba dia berkata “walau gue cuma anak kecil yang masih pake seragam, gak berarti gue gak tau kan tentang perceraian orang tua”
“...”
“Bokap nyokap gue cerai 2 tahun yang lalu, apa masalahnya gue sendiri juga gak tau, setiap kali gue tanya jawaban nyokap selalu sama, katanya “ada banyak hal dalam hidup yang gak bisa sama seperti yang kita mau”, sampai sekarang gue juga gak ngerti maksudnya apa?”
“...”
“Btw, gue informan yang bagus kan buat tugas lho...” ucapnya lagi, tapi kali ini dengan senyuman yang sedikit dipaksakan. aku jadi merasa bersalah padanya, pasti tulisan dalam tugas ku sedikit membuatnya sedih.
“Sorry gue gak tau kalo...”
“Gue maafin tapi dengan satu syarat” ujarnya memotong kata-kata ku.
“Apa?” tanya ku.
“Traktir gue ya mbak, gue gak bawa uang neh” jawabnya sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya sambil menganggukkan kepala.
“Gue Edel” ucap ku sambil mengulur kan tangan.
“Elang” jawabnya sambil menyambut uluran tanganku.
“Jadi, gue mesti cerita dari mana nih?” lanjutnya sambil memakan tiramisu dengan lahap nya, aku bisa menerka pasti ia tak sempat makan siang di sekolah, karena tadi ia memesan tiramisu (lagi...).
***
Jadilah sore itu aku mengahbiskannya dengan mendengarkan cerita seorang anak kecil yang aku anggap tidak tahu apa-apa tentang tugas kuliah ku, justru membantu ku dengan bersedia sebagai informan yang tepat, sungguh kebetulan yang aneh. Ditemani dengan hujan yang masih turun, cappucinno dan tiramisu, aku dan Elang masih terus ngobrol meski arah pembicaraan telah jauh melenceng dari topik tentang tugas kuliah ku. Ah…Elang, betapa malang nya nasib mu dik.
Hari itu aku mendapat banyak pelajaran, bukan hanya sekedar “don’t judge a book by the cover”, tapi bahwa beruntungnya aku yang masih bisa merasakan kasih sayang dari kedua orang tua yang masih lengkap dan harmonis.
Aku menatap keluar jendela, hujan masih mengguyur kota ku dari pagi, saat-saat seperti inilah yang selalu mengingatkan ku pada sosok Elang. Sudah lama aku tidak menemuinya. Besok aku akan menemuinya, janji ku dalam hati.
***
“Rin, gue balik duluan yah, buru-buru nih takut kehujanan” ucapku pada Erin sahabatku saat keluar kelas.
“Emang lu mau kemana sih neng, buru-buru amat, gak ngajak-ngajak gue lagi”
“Sorry…kali ini gue pengen pergi sendiri dulu gak papa yah”
“I’ts okey dear, emang mau kemana sih, gue boleh tau kan???” tanya Erin lagi. Fiuh…ni anak yah kalo udah penasaran suka nya maksa banget.
“Gue mau ketemu Elang Rin, lu beneran mau ikut???” tawar ku padanya, tanpa menunggu jawaban Erin pun aku sudah tau jawabannya, dia gak mungkin mau ikut.
“Serius lu…???” tanya nya lagi, kali ini dengan ekspresi yang lain, wajah Erin mendadak pucat. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
“Gue udah lama gak liat dia, gue gak papa kok Rin, swear…!!!” jawab ku meyakinkan Erin.
Setelah berhasil bernegosiasi dengan Erin, akhirnya aku berhasil juga pergi ke tempat Elang, makan waktu cukup lama untuk sampai kesana, mudah-mudahan gak keburu hujan.
Dan disinilah aku sekarang, duduk bersimpuh di gundukan tanah merah yang basah, mungkin karena hujan tadi malam. Pelan aku membersihkan rerumputan yang tumbuh di atas tanah. Aku mengusap ukiran nama yang ada di hadapan ku “ELANG PRATAMA PUTRA, Lahir : 26 February 1991, Wafat : 07 Agustus 2008”. Air mata ku jatuh diatas makam Elang.
3 bulan setelah pertemuanku dengan Elang, aku mendapat kabar bahwa Elang kecelakaan di jalan raya saat mengendarai mobilnya. Elang kabur dari rumah saat melihat kedua orang tua nya bertengkar hebat malam itu.
“Elang…pa kabar lo??? Gue datang nih, demi elo gue rela ujan-ujanan kayak gini, awas ya lo kalo ntar gue sakit, gue gak mau lagi datang kesini” ucapku sendiri di depan makam Elang. Aku tak dapat menghentikan tangis ku, hujan seakan menemaniku berduka. “Thanks ya lang, udah pernah ada di hidup gue”, ucap ku sambil beranjak pergi, aku tahu di alam sana Elang pasti sudah sangat bahagia.

“Aku Selalu bahagia, saat hujan turun
Karena hujan pernah menahanmu disini
Untuk ku…”

Share:

0 Comments